Belajar dengan Caraku: Memahami Gaya Belajar Siswa dalam Pembelajaran Mendalam

 Setiap siswa memiliki cara unik dalam memahami dan mengingat informasi yang diterimanya. Cara khas ini dikenal dengan istilah gaya belajar. DePorter dan Hernacki (2010) mendefinisikan gaya belajar sebagai kombinasi cara seseorang dalam menyerap, mengatur, dan mengolah informasi. Artinya, gaya belajar tidak hanya terbatas pada cara siswa menerima informasi, tetapi juga bagaimana mereka memproses dan menerapkannya dalam konteks nyata. Pemahaman guru terhadap hal ini menjadi kunci penting untuk menciptakan pembelajaran yang efektif dan bermakna.

Salah satu model yang paling dikenal adalah model VAK (Visual, Auditory, Kinesthetic) yang dikembangkan oleh Fleming (2001). Siswa dengan gaya belajar visual lebih mudah memahami informasi melalui gambar, warna, dan bentuk; siswa auditori menyerap informasi lebih baik melalui pendengaran dan diskusi; sedangkan siswa kinestetik memahami pelajaran melalui gerakan, praktik, atau pengalaman langsung. Guru yang peka terhadap variasi ini dapat menciptakan pembelajaran yang lebih dinamis dan inklusif.

Menurut Dunn dan Dunn (1993), keberhasilan belajar meningkat ketika gaya belajar siswa diakomodasi dalam proses pembelajaran. Guru yang menyesuaikan strategi pengajarannya dengan gaya belajar siswa dapat meningkatkan motivasi, keterlibatan, dan hasil belajar. Dalam konteks sekolah dasar, hal ini menjadi sangat penting karena siswa berada pada tahap perkembangan konkret-operasional (Piaget, 1972), di mana mereka belajar lebih efektif melalui pengalaman langsung, benda nyata, dan visualisasi konkret.

Namun, di era Kurikulum Merdeka, paradigma belajar tidak berhenti pada sekadar mengenali gaya belajar. Pembelajaran kini diarahkan menuju pembelajaran mendalam (deep learning) — yaitu proses belajar yang tidak hanya berfokus pada hafalan, tetapi menekankan pemahaman konseptual, refleksi, dan penerapan nilai dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Marton dan Säljö (1997), pembelajaran mendalam terjadi ketika siswa berusaha memahami makna dari apa yang mereka pelajari, bukan sekadar mengingat informasi secara mekanis.

Pembelajaran mendalam juga berakar pada tiga prinsip utama: berkesadaran (mindful), bermakna (meaningful), dan menggembirakan (joyful). Ketiga prinsip ini hanya dapat tercapai jika siswa diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan karakteristik dan gaya belajar mereka. Misalnya, siswa visual dapat diajak membuat peta konsep atau poster refleksi, sementara siswa kinestetik dapat mengekspresikan pemahaman melalui proyek atau permainan edukatif. Dengan demikian, gaya belajar menjadi jembatan untuk mencapai pembelajaran mendalam.

Kolb (1984) menjelaskan bahwa setiap individu belajar melalui pengalaman konkret dan refleksi aktif. Ia membedakan empat tipe gaya belajar: konvergen, divergen, asimilatif, dan akomodatif. Dalam konteks pembelajaran mendalam, keempat gaya ini perlu diakomodasi agar siswa dapat mengalami siklus belajar yang utuh: mengalami, merefleksi, memahami, dan menerapkan. Guru berperan penting dalam merancang kegiatan yang menumbuhkan keempat aspek tersebut.

Pendekatan diferensiasi pembelajaran sebagaimana dikemukakan oleh Tomlinson (2001), sejalan dengan penerapan gaya belajar dan pembelajaran mendalam. Diferensiasi memungkinkan guru untuk menyesuaikan proses, konten, dan produk belajar berdasarkan kebutuhan, minat, dan profil belajar siswa. Misalnya, dalam topik “Perubahan Energi”, guru dapat menyediakan video interaktif bagi siswa visual, eksperimen sederhana bagi siswa kinestetik, dan diskusi reflektif bagi siswa auditori. Semua siswa mencapai tujuan yang sama, tetapi dengan cara yang sesuai dengan mereka masing-masing.

Selain memperhatikan gaya belajar, guru juga perlu membangun motivasi belajar siswa. Sardiman (2014) menyatakan bahwa motivasi merupakan energi yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Ketika gaya belajar siswa diakomodasi, mereka merasa dihargai dan lebih termotivasi untuk terlibat aktif dalam proses belajar. Motivasi inilah yang menjadi landasan utama pembelajaran mendalam — karena siswa belajar bukan karena paksaan, tetapi karena kesadaran dan minat yang tumbuh dari dalam dirinya.

Perkembangan teknologi pendidikan juga memberikan ruang luas bagi penerapan gaya belajar dalam pembelajaran mendalam. Mayer (2009) dalam teori pembelajaran multimedia menegaskan bahwa kombinasi teks, gambar, dan suara dapat meningkatkan pemahaman secara signifikan. Dengan memanfaatkan media digital, guru dapat menghadirkan pengalaman belajar yang beragam — mulai dari video pembelajaran, simulasi interaktif, hingga platform refleksi daring yang mendukung gaya belajar yang berbeda.

Walaupun demikian, guru perlu berhati-hati agar konsep gaya belajar tidak dijadikan label yang membatasi siswa. Coffield et al. (2004) mengingatkan bahwa gaya belajar bersifat fleksibel dan dapat berkembang sesuai situasi. Dalam pembelajaran mendalam, siswa justru didorong untuk beradaptasi dengan berbagai cara belajar sehingga mereka mampu berpikir kritis, kreatif, dan reflektif. Dengan demikian, memahami gaya belajar bukan berarti mengkotak-kotakkan siswa, melainkan membuka ruang bagi pertumbuhan belajar yang utuh.

Pada akhirnya, pembelajaran yang menggabungkan pemahaman gaya belajar dan prinsip pembelajaran mendalam akan menciptakan pengalaman belajar yang berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan. Siswa tidak hanya menguasai pengetahuan, tetapi juga belajar tentang cara belajar — sebuah kemampuan penting dalam menghadapi tantangan masa depan yang terus berubah. Guru sebagai fasilitator berperan menuntun siswa “belajar dengan caraku” menuju “belajar sepanjang hayat”.


Daftar Referensi

  • Coffield, F., Moseley, D., Hall, E., & Ecclestone, K. (2004). Learning Styles and Pedagogy in Post-16 Learning: A Systematic and Critical Review. Learning and Skills Research Centre.

  • DePorter, B., & Hernacki, M. (2010). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

  • Dunn, R., & Dunn, K. (1993). Teaching Secondary Students through Their Individual Learning Styles. Boston: Allyn and Bacon.

  • Fleming, N. D. (2001). Teaching and Learning Styles: VARK Strategies. Christchurch, New Zealand: N.D. Fleming.

  • Kolb, D. A. (1984). Experiential Learning: Experience as the Source of Learning and Development. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

  • Marton, F., & Säljö, R. (1997). Approaches to Learning. In F. Marton, D. Hounsell, & N. Entwistle (Eds.), The Experience of Learning (pp. 39–58). Edinburgh: Scottish Academic Press.

  • Mayer, R. E. (2009). Multimedia Learning (2nd ed.). New York: Cambridge University Press.

  • Piaget, J. (1972). The Psychology of the Child. New York: Basic Books.

  • Sardiman, A. M. (2014). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

  • Tomlinson, C. A. (2001). How to Differentiate Instruction in Mixed-Ability Classrooms. Alexandria, VA: ASCD.

Comments

Popular posts from this blog

Menyelami Makna Belajar: Sinergi BBM dan 3M dalam Pembelajaran Mendalam di Sekolah Dasar

Motivasi Kerja Guru , kunci membangun generasi